Organisasi Palang Merah dikenal luas, setidaknya dalam tiga urusan, yakni perang, bencana, dan darah. Bagi Palang Merah Indonesia, tentu tak dikenal karena perang sebab perang tidak ada di Indonesia kecuali konflik lokal. Bencana hanya sekali-kali terjadi walaupun intensitas bencana yang memerlukan uluran tangan PMI semakin sering terjadi. Akan tetapi, urusan darah hampir setiap saat menjadi permasalahan masyarakat karena kebutuhan akan darah tidak mengenal waktu.
Bagaimana Palang Merah Indonesia (PMI) merespons masalah-masalah itu? Hal pertama yang dilakukan ketua umum PMI yang baru, Jusuf Kalla, adalah konsolidasi internal. Dalam beberapa bulan saja sejak terpilih, JK—begitu lebih akrab disapa—sudah mengunjungi setidaknya PMI daerah di 13 provinsi. Tujuannya untuk mengenal lebih dalam PMI dan permasalahannya, dan membangun semangat kerja pengurus.
Ketika orang lain masih berdiskusi dan rapat soal penanganan banjir, JK sudah lebih dulu mengunjungi korban banjir di Kampung Melayu, Jakarta, dan Baleendah di Jawa Barat. Bukan cuma mengulurkan bantuan, menyapa korban tak kalah pentingnya. Memang begitulah eksistensi PMI, hadir kala dibutuhkan karena PMI lahir dari masyarakat untuk kemanusiaan.
Kalau selama ini darah yang dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa manusia dianggap mahal, kadang susah mendapatkannya, lamban dalam pelayanannya, dan sulit pula mendonasikannya, tunggulah!
JK ingin merombak citra kurang sedap itu. Wakil Presiden RI periode 2004-2009 itu mengatakan, pelayanan bagi pendonor darah, penyediaan darah, distribusi, serta pertolongan darah harus lebih cepat dan lebih baik. Keterlambatan pelayanan transfusi darah bisa berakibat fatal, menyebabkan seseorang menemui ajal. Fatal sekali kalau hanya karena pelayanan lamban lantas orang meninggal. Itu bisa menimbulkan penyesalan luar biasa. Rumah sakit juga tidak boleh menjual mahal darah. Harus ada mekanisme dan transparansi.
Meskipun memimpin PMI yang berorientasi nirlaba, pengelolaan PMI haruslah berdasarkan prinsip penatalaksanaan organisasi perusahaan. Korporatisasi PMI bagi JK bukan berarti PMI berorientasi bisnis alias ngelaba, tetapi pelayanannya yang harus seperti pengelolaan korporasi, lebih cepat dan lebih baik dan lebih bermutu. Penatalaksanaannya harus seperti korporasi yang serba teratur, transparan, dengan standar-standar tinggi.
Dengan demikian, masyarakat akan semakin mengenal dan mencintai PMI, serta merasakan betul keberadaannya. Bagi yang sehat akan semakin gemar mendonorkan darahnya karena mendonasikan darah bagi mereka yang berpotensi juga sehat bagi pendonor. Karena itu, dalam benak JK, donor darah harus bisa dilakukan di mana saja dengan mudah.
Kalau perlu, kata dia, para pegawai kantoran yang keluar kantor untuk makan siang bisa mampir sebentar melakukan donor darah. Mereka yang pergi shalat Jumat bisa mampir donor darah. Begitu juga yang pergi ke gereja pada hari Minggu, bisa mampir donor darah. ”Jadi kita bikin donor darah itu sebagai gaya hidup masyarakat. Itu sungguh besar amal bagi yang mendonorkan darahnya karena darahnya itu menyelamatkan jiwa orang lain, di samping sehat bagi pendonor,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut JK, donor darah harus bisa dilakukan masyarakat di mana saja. Ya, di pusat-pusat perkantoran pada hari kerja, di masjid menjelang atau sesudah shalat Jumat, di gereja juga bisa pada hari Minggu. Di mal pun harus ada pelayanan donor darah. Keluarga yang ke mal bisa mampir sebentar donor darah. Ini pun bukan hanya omongan sebab sudah dilakukan di beberapa mal di Jakarta.
”Nanti ada pelayanan tetap yang terjadwal di mal-mal dan pusat perkantoran. Jadi, nanti donor darah itu menjadi perbincangan dan life style, gaya hidup masyarakat. Orang yang tidak mendonasikan darahnya jadi ketinggalan. Kamu sudah berapa kali donor darah? Saya sudah sekian kali, begitu nanti percakapan masyarakat,” katanya.
Ide JK itu salah satu langkah dari prinsip yang ”out of the box”. Selama ini orang yang mendonorkan darahnya harus datang ke PMI, kecuali mereka yang secara berkelompok atau ada aksi sosial yang didatangi PMI. Ide itu sendiri muncul lantaran kondisi stok darah PMI. Saat ini stok darah nasional hanya cukup untuk sekitar dua hari kebutuhan.
Dalam empat tahun ke depan, stok nasional harus ditingkatkan menjadi empat juta kantong supaya mencukupi kebutuhan empat hari. Dengan demikian, begitu masyarakat butuh, mereka segera mendapatkannya. ”Sekarang baru satu persen dari jumlah penduduk yang donor darah. Dalam empat tahun kita tingkatkan menjadi dua persen. Itu sudah sangat bagus,” katanya.
Menurut JK, stok nasional darah saat ini baru sekitar 1,7 juta kantong. Hasil donor masyarakat itu bisa untuk keperluan transfusi sekitar 2,7 juta kantong per tahun. Nah, jumlah itulah secara rata-rata nasional hanya cukup untuk dua hari. ”Kita harus tingkatkan, harus 4 juta kantong per tahun sehingga bisa dihasilkan sekitar enam juta kantong untuk transfusi darah, itu sudah aman,” katanya berkalkulasi.
Soal persediaan kantong darah yang sering kali sulit, JK mengatakan, kalau memungkinkan, PMI membikin perusahaan yang memproduksi kantong darah. Bisa juga dikerjakan oleh perusahaan lain karena permintaannya sudah semakin besar.
Ia bercerita, suatu hari ia memprovokasi pengusaha produsen sepeda motor untuk rajin mengorganisasi karyawannya melakukan donor darah. Berapa banyak pengendara motor yang kecelakaan dan memerlukan darah? Nah, mereka (produsen sepeda motor) juga harus ikut bertanggung jawab dalam penyediaan darah di PMI.
Jangan hanya mau penjualan motornya terus meningkat, tetapi tidak mau ikut tanggung jawab sosialnya. Akhirnya mereka paham dan menjanjikan aksi donor darah pekerjanya lebih sering.
Begitulah JK, di mana pun berada senantiasa menjadi dinamisator bagi sekelilingnya.
Bagaimana Palang Merah Indonesia (PMI) merespons masalah-masalah itu? Hal pertama yang dilakukan ketua umum PMI yang baru, Jusuf Kalla, adalah konsolidasi internal. Dalam beberapa bulan saja sejak terpilih, JK—begitu lebih akrab disapa—sudah mengunjungi setidaknya PMI daerah di 13 provinsi. Tujuannya untuk mengenal lebih dalam PMI dan permasalahannya, dan membangun semangat kerja pengurus.
Ketika orang lain masih berdiskusi dan rapat soal penanganan banjir, JK sudah lebih dulu mengunjungi korban banjir di Kampung Melayu, Jakarta, dan Baleendah di Jawa Barat. Bukan cuma mengulurkan bantuan, menyapa korban tak kalah pentingnya. Memang begitulah eksistensi PMI, hadir kala dibutuhkan karena PMI lahir dari masyarakat untuk kemanusiaan.
Kalau selama ini darah yang dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa manusia dianggap mahal, kadang susah mendapatkannya, lamban dalam pelayanannya, dan sulit pula mendonasikannya, tunggulah!
JK ingin merombak citra kurang sedap itu. Wakil Presiden RI periode 2004-2009 itu mengatakan, pelayanan bagi pendonor darah, penyediaan darah, distribusi, serta pertolongan darah harus lebih cepat dan lebih baik. Keterlambatan pelayanan transfusi darah bisa berakibat fatal, menyebabkan seseorang menemui ajal. Fatal sekali kalau hanya karena pelayanan lamban lantas orang meninggal. Itu bisa menimbulkan penyesalan luar biasa. Rumah sakit juga tidak boleh menjual mahal darah. Harus ada mekanisme dan transparansi.
Meskipun memimpin PMI yang berorientasi nirlaba, pengelolaan PMI haruslah berdasarkan prinsip penatalaksanaan organisasi perusahaan. Korporatisasi PMI bagi JK bukan berarti PMI berorientasi bisnis alias ngelaba, tetapi pelayanannya yang harus seperti pengelolaan korporasi, lebih cepat dan lebih baik dan lebih bermutu. Penatalaksanaannya harus seperti korporasi yang serba teratur, transparan, dengan standar-standar tinggi.
Dengan demikian, masyarakat akan semakin mengenal dan mencintai PMI, serta merasakan betul keberadaannya. Bagi yang sehat akan semakin gemar mendonorkan darahnya karena mendonasikan darah bagi mereka yang berpotensi juga sehat bagi pendonor. Karena itu, dalam benak JK, donor darah harus bisa dilakukan di mana saja dengan mudah.
Kalau perlu, kata dia, para pegawai kantoran yang keluar kantor untuk makan siang bisa mampir sebentar melakukan donor darah. Mereka yang pergi shalat Jumat bisa mampir donor darah. Begitu juga yang pergi ke gereja pada hari Minggu, bisa mampir donor darah. ”Jadi kita bikin donor darah itu sebagai gaya hidup masyarakat. Itu sungguh besar amal bagi yang mendonorkan darahnya karena darahnya itu menyelamatkan jiwa orang lain, di samping sehat bagi pendonor,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut JK, donor darah harus bisa dilakukan masyarakat di mana saja. Ya, di pusat-pusat perkantoran pada hari kerja, di masjid menjelang atau sesudah shalat Jumat, di gereja juga bisa pada hari Minggu. Di mal pun harus ada pelayanan donor darah. Keluarga yang ke mal bisa mampir sebentar donor darah. Ini pun bukan hanya omongan sebab sudah dilakukan di beberapa mal di Jakarta.
”Nanti ada pelayanan tetap yang terjadwal di mal-mal dan pusat perkantoran. Jadi, nanti donor darah itu menjadi perbincangan dan life style, gaya hidup masyarakat. Orang yang tidak mendonasikan darahnya jadi ketinggalan. Kamu sudah berapa kali donor darah? Saya sudah sekian kali, begitu nanti percakapan masyarakat,” katanya.
Ide JK itu salah satu langkah dari prinsip yang ”out of the box”. Selama ini orang yang mendonorkan darahnya harus datang ke PMI, kecuali mereka yang secara berkelompok atau ada aksi sosial yang didatangi PMI. Ide itu sendiri muncul lantaran kondisi stok darah PMI. Saat ini stok darah nasional hanya cukup untuk sekitar dua hari kebutuhan.
Dalam empat tahun ke depan, stok nasional harus ditingkatkan menjadi empat juta kantong supaya mencukupi kebutuhan empat hari. Dengan demikian, begitu masyarakat butuh, mereka segera mendapatkannya. ”Sekarang baru satu persen dari jumlah penduduk yang donor darah. Dalam empat tahun kita tingkatkan menjadi dua persen. Itu sudah sangat bagus,” katanya.
Menurut JK, stok nasional darah saat ini baru sekitar 1,7 juta kantong. Hasil donor masyarakat itu bisa untuk keperluan transfusi sekitar 2,7 juta kantong per tahun. Nah, jumlah itulah secara rata-rata nasional hanya cukup untuk dua hari. ”Kita harus tingkatkan, harus 4 juta kantong per tahun sehingga bisa dihasilkan sekitar enam juta kantong untuk transfusi darah, itu sudah aman,” katanya berkalkulasi.
Soal persediaan kantong darah yang sering kali sulit, JK mengatakan, kalau memungkinkan, PMI membikin perusahaan yang memproduksi kantong darah. Bisa juga dikerjakan oleh perusahaan lain karena permintaannya sudah semakin besar.
Ia bercerita, suatu hari ia memprovokasi pengusaha produsen sepeda motor untuk rajin mengorganisasi karyawannya melakukan donor darah. Berapa banyak pengendara motor yang kecelakaan dan memerlukan darah? Nah, mereka (produsen sepeda motor) juga harus ikut bertanggung jawab dalam penyediaan darah di PMI.
Jangan hanya mau penjualan motornya terus meningkat, tetapi tidak mau ikut tanggung jawab sosialnya. Akhirnya mereka paham dan menjanjikan aksi donor darah pekerjanya lebih sering.
Begitulah JK, di mana pun berada senantiasa menjadi dinamisator bagi sekelilingnya.
0 komentar:
Posting Komentar