Batalnya kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda dengan alasan waktunya bersamaan dengan sidang yang menggugatnya di pengadilan Den Haag, menuai kontroversi.
Indonesia NGO Coalition for International Human Rights Advocay (HRWG) menilai penundaan kunjungan tersebut merupakan tindakan berlebihan. Menurut Wakil Direktur HRWG, Chairul Anam, pembatalan itu justru tidak menunjukkan Indonesia sebagai negara berwibawa.
“Jika tidak merasa melakukan tindakan pelanggaran HAM, seperti yang ditiduhkan, baik dalam konteks by commission, harusnya Presiden tidak perlu khawatir atas apa yang dirisaukannya,” ungkap Chairul.
Dia menilai proses hukum dan skema HAM, mengenal azas praduga tak bersalah dan menjungjung tinggi independensi peradilan, khususnya fair trail. Tuduhan Republik Maluku Selatan (RMS) bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran HAM, menurut Chairul, seharusnya diletakkan dalam konteks hukum dengan mengajukan bukti dan menggunakan pembela yang kredibel.
Karena itu, HRWG yang merupakan gabungan dari LSM di antaranya, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), Imparsial, LBH Jakarta, dan YLBHI ini, menganggap tindakan Presiden akan berujung pada cideranya hubungan baik Belanda dengan Indonesia, serta semakin memebsarkan RMS.
Chairul menambahkan, pembatalan tersebut juga tidak akan menghentikan upaya hukum yang dilakukan RMS atau pihak manapun, apalagi di negara maju seperti Belanda, independensi peradilan mutlak tidak dapat diintervensi oleh pemerintahnya.
“Pembatalan tersebut tidak akan mengubah apa pun putusan yang diambil oleh pengadilan, kecuali pengadilan sendiri menemukan fakta persidangan, bahwa tuduhan itu kurang bukti atau sebaliknya,” tandas Chairul.
Mengambil pelajaran dari kasus RMS di Belanda ini, HRWG mengajak seluruh komponen dalam negeri untuk tidak menyikapi kasus RMS dengan tindakan koersif, karena tidak akan meyelesaikan masalah, justru memunculkan dugaan pelanggaran HAM.
“Peristiwa ini harus menjadi refelksi atas semua pelanggaran HAM yang terjadi dan mandeknya proses hukum dalam negeri. Seandainya pelanggaran HAM dapat dihindari dan penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi diproses secara hukum, maka peristiwa ini tidak akan terjadi,” pungkasnya.
Indonesia NGO Coalition for International Human Rights Advocay (HRWG) menilai penundaan kunjungan tersebut merupakan tindakan berlebihan. Menurut Wakil Direktur HRWG, Chairul Anam, pembatalan itu justru tidak menunjukkan Indonesia sebagai negara berwibawa.
“Jika tidak merasa melakukan tindakan pelanggaran HAM, seperti yang ditiduhkan, baik dalam konteks by commission, harusnya Presiden tidak perlu khawatir atas apa yang dirisaukannya,” ungkap Chairul.
Dia menilai proses hukum dan skema HAM, mengenal azas praduga tak bersalah dan menjungjung tinggi independensi peradilan, khususnya fair trail. Tuduhan Republik Maluku Selatan (RMS) bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran HAM, menurut Chairul, seharusnya diletakkan dalam konteks hukum dengan mengajukan bukti dan menggunakan pembela yang kredibel.
Karena itu, HRWG yang merupakan gabungan dari LSM di antaranya, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), Imparsial, LBH Jakarta, dan YLBHI ini, menganggap tindakan Presiden akan berujung pada cideranya hubungan baik Belanda dengan Indonesia, serta semakin memebsarkan RMS.
Chairul menambahkan, pembatalan tersebut juga tidak akan menghentikan upaya hukum yang dilakukan RMS atau pihak manapun, apalagi di negara maju seperti Belanda, independensi peradilan mutlak tidak dapat diintervensi oleh pemerintahnya.
“Pembatalan tersebut tidak akan mengubah apa pun putusan yang diambil oleh pengadilan, kecuali pengadilan sendiri menemukan fakta persidangan, bahwa tuduhan itu kurang bukti atau sebaliknya,” tandas Chairul.
Mengambil pelajaran dari kasus RMS di Belanda ini, HRWG mengajak seluruh komponen dalam negeri untuk tidak menyikapi kasus RMS dengan tindakan koersif, karena tidak akan meyelesaikan masalah, justru memunculkan dugaan pelanggaran HAM.
“Peristiwa ini harus menjadi refelksi atas semua pelanggaran HAM yang terjadi dan mandeknya proses hukum dalam negeri. Seandainya pelanggaran HAM dapat dihindari dan penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi diproses secara hukum, maka peristiwa ini tidak akan terjadi,” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar