Pdt. Willem TP. Simarmata, MA : HKBP MASA DEPAN: GERAKAN PEMBERDAYAAN DAN TRANSFORMASI

04.47 by
HKBPVISI DAN MISI

Pemberdayaan warga untuk transformasi adalah roh dari visi dan misi HKBP (Efesus 4:11-14; Markus 16 :15-18). Visi dan Misi HKBP dalam Aturan dan Peraturan 2002 hanya akan menjadi jasad tanpa roh ketika warga jemaat berada dalam posisi sebagai objek pelayanan yang sepenuhnya bergantung kepada pelayan. HKBP masa depan harus komit memenuhi panggilannya untuk memberdayakan warga jemaat membawa perubahan sosial (transformasi sosial) di tengah-tengah arus globalisasi. HKBP baru benar-benar menjadi gereja yang berkembang, inklusif, dialogis dan terbuka serta mampu mengembangkan kehidupan yang bermutu, apabila persekutuan, kesaksian dan pelayanannya digerakkan oleh roh pemberdayaan yang membawa perubahan sosial di tengah-tengah abad 21. Mutu pelayanan HKBP diukur dari kemampuan warga jemaat membawa perubahan bagi terciptanya kehidupan sosial dan lingkungan yang adil dan penuh damai sejahtera. HKBP harus memasuki lapangan sosial ekonomi masyarakat dan berperan di dalamnya membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih adil, sejahtera dan religius. Dengan demikian maka HKBP menjadi Gerakan Pemberdayaan dan Transformasi Warga (Movement for People Empowerment and Transformation).

PRINSIP DAN KOMITMEN
Mengasihi, melayani dan kepedulian adalah prinsip yang mesti dipegang teguh oleh semua warga dan pelayan dalam setiap usaha mewujudkan visi dan misi tersebut (Yohanes 3:16; Markus 10:45; 1 Korintus 16:14; 2 Korintus 6:1-10; 9: 10-15). Pelayanan senantiasa harus digerakkan oleh kasih. Pelayanan yang tidak beralaskan kasih pada akhirnya menghasilkan arogansi kekuasaan. Kasih dan pelayanan adalah prinsip yang menentukan keberhasilan program-program pemberdayaan untuk perubahan sosial dan lingkungan. Implikasinya adalah semua program dalam bidang persekutuan, kesaksian dan pelayanan HKBP harus didesain sedemikian rupa berdasarkan pemahaman teologis eklesiologis terhadap tantangan aktual gereja abad 21. Sudah waktunya bagi HKBP keluar dari jebakan aktivitas formal dan rutinitas seremonial, yang hanya akan memperkuat struktur dan melemahkan kemandirian jemaat. HKBP harus fokus kepada pelayanan berdasarkan kasih Kristus, sehingga seluruh jemaat mampu mengaktualisasikan pelayanan yang benar-benar menyentuh, sebagai implementasi pertumbuhan iman, kasih dan pengharapan. Sudah waktunya HKBP menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pelayanan yang menjangkau mereka yang mengalami situasi yang sulit, seperti mereka yang menjadi korban aneka kekerasan dan ketidakadilan, ODHA, akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dan pemanasan global. The Outreach Ministry harus mendapat perhatian, khususnya melayani sektor yang belum dan tidak tersentuh oleh pelayanan HKBP. Sangat dibutuhkan redefinisi dan reposisi peran sosial HKBP, agar HKBP tidak hanya mengurusi soal-soal yang terkait dengan spiritual sajaa, tetapi juga soal-soal ekonomi, politik, pendidikan dan kebutuhan masyarakat lainnya, agar kehadiran HKBP memiliki dampak sosial.

INTEGRITAS INSTITUSIONAL
Gerakan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan HKBP mesti dilihat secara utuh sebagai organisme spritual dan institusional di tengah-tengah realitas dunia, dan Indonesia khususnya. Sejarah institusional HKBP harus tetap memiliki integritas sebagai tubuh Kristus yang sehat, kuat dan lincah melayani di tengah-tengah arus globalisasi. Oleh karena itu, Aturan dan Peraturan HKBP mestinya menjadi landasan yang kokoh bagi setiap program pemberdayaan warga dan perubahan sosial. Aturan dan Peraturan yang berorientasi pemberdayaan dan transformasi warga jemaat ditandai dengan : a) Peningkatan peran serta dan ruang gerak warga jemaat dalam berbagai pelayanan; b) Identifikasi dan pengembangan talenta dan potensi warga dan pelayan; c) Perluasan pendelegasian wewenang yang jelas dan otonomisasi unit-unit pelayanan berbasis kebutuhan real dan; d) penguatan jejaring dan pelayanan secara sinergis dan akuntabel, baik di tingkat nasional maupun internasional, e) penghargaan kepada keadilan gender dan lingkungan hidup dengan penghargaan kepada segala yang bernafas. Fenomena yang memuka akhir-akhir ini adalah jemaat melayani struktur, padahal sebaiknya adalah struktur yang harus melayani jemaat. Fenomena itu dapat dilihat secara kasat mata di tingkat Huria, Ressort, Distrik, Lembaga dan bahkan di tingkat Hatopan (Pusat), di mana unsur pimpinan di setiap level tampil sebagai master of ceremony, professional (monolog), sementara jemaat diposisikan sebagai audiences yang dermawan dan pantas membayar (dan tidak perlu diapresiasi?). Secara teoretis (dalam kertas) Aturan dan Peraturan HKBP 2002 diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan akselerasi pengambilan kebijakan strategis, dengan menghapus Lembaga Majelis Pusat, dan membentuk Rapat Pimpinan (terdiri dari Ephorus, Sekretaris Jenderal dan ketiga Kepala Departemen) serta Majelis Pekerja Sinode (MPS). Kenyataannya tidak demikian sebab konsep kepemimpinan yang flat belum sesuai dengan harapan, demikian juga dari segi fasilitas kantor maupun dari efektivitas pelayanan ketiga departemen. Beberapa indikasi dapat disebutkan, misalnya a) hingga periode kepemimpinan 2004-2008 akan berakhir beberapa bulan lagi, pembenahan fasilitas pendukung pelayan ketiga departemen belum juga dapat diwujudkan; b) Secara struktural posisi kelima piminan HKBP perlu diatur melalui uraian tugas yang jelas; c) Aturan dan Peraturan HKBP 2002 sama sekali tidak menuntut adanya Sinode Kerja untuk mengevaluasi kinerja para pimpinan; d) MPS memiliki sejumlah kelemahan institusional yang pada gilirannya tidak efektif menjadi perangkat penyambung aspirasi jemaat di setiap distrik, serta tidak memiliki wewenang pengawasan dan evaluasi terhadap program hatopan di HKBP. Integritas institusional HKBP sebagi perwujudan Tubuh Kristus perlu dibangun secara sehat dan kritis dan memperhatikan dimensi-dimensi religius dalam bidang Koinonia, Marturia dan Diakonia. Sebab, gereja mula-mula pun bertumbuh pesat dan pelayanannya menjadi sedemikian kuat dan luas, bukan oleh karena figur dan rekam-jejak para pelayan yang telah sekian lama bersama-sama dengan Kristus di dalam berbagai pelayanan. Kesuksesan tu dicapai oleh integritas dan komitmen orang-orang kudus melanjutkan (mengerjakan) apa yang diprakarsai oleh Yesus dalam persekutuan, kesaksian dan pelayanan-Nya. Integritas dan komitmen seperti itu hanya akan diperoleh apabila Aturan dan Peraturan memberikan ruang gerak yang luas bagi para pelayan dan warga jemaat untuk selalu bersikap kritis terhadap tradisi dan pola-pola kehidupan beragama yang legalistik-fundamentalis. Artinya, gereja harus senantiasa dibaharui dengan mengapresiasi perubahan zaman serta meratifikasi konsep-konsep teologis-eklesiologis yang berkembang dalam rangka pembangunan kerajaan Allah di tengah-tengah realitas dunia (Kis Rasul 6:1-7). Integritas institusional perlu dibenahi melalui pemberdayaan struktural dalam arti merevitalisasi kinerja berbagai lembaga dan unit-unit pelayanan yang ada, sehingga tujuan berdirinya lembaga dan unit-unit kerja itu dapat diaktualisasikan secara optimal. Akhir-akhir ini, ada kecenderungan bahwa Lembaga, Yayasan dan Biro menjadi tujuan pada dirinya sendiri, tetapi apakah lembaga atau unit kerja itu setia membawa misi gereja bagi pembangunan kerajaan Allah atau tidak, agaknya sudah diabaikan. HKBP masa depan perlu mengevaluasi sistem rekruitmen staf di tingkat Kepala Biro, Pimpinan Lembaga, dan unit pelayanan lainnya. Sehubungan dengan itu, maka sudah waktunya bagi HKBP untuk sepenuh hati merevitaliasi Sekolah Tinggi Theologia, dan pendidikan teologi lainnya di HKBP, demikian juga dengan Badan Penelitian dan Pengembangan HKBP, Komisi Teologi dan Tim Konfessi, serta mendekatkan Universitas HKBP Nommensen (UHN) kepada jemaat dan lembaga-lembaga pendidikan maupun Lembaga Swadaya Gereja. UHN sebenarnya sangat layak menjadi payung dan sekaligus laboratorium pengembangan Credit Union Modifikasi (CUM) yang mulai berkembang di berbagai distrik. Adalah suatu ironi apabila ada warga jemaat yang membutuhkan perawatan medis dari Toba Samosir, tetapi lebih memilih langsung ke Rumah Sakit Umum Porsea, dan sama sekali tidak menghiraukan lagi Rumah Sakit Balige.

INTEGRITAS PELAYANAN
Sebagaimana dipaparkan di atas, suka atau tidak suka pada dasarnya orientasi pelayanan HKBP akhir-akhir ini perlu dipertegas dan diperjelas, walaupun di beberapa tempat ada beberapa kegiatan di tingkat Hatopan dan nasional yang patut disyukuri. Namun, masih merupakan aktifitas seremonial atau anniversarial, seperti jubileum dan taon parolopolopon, atau yang sejenis dengan itu. Artinya, HKBP cenderung mengabaikan tujuan panggilannya utnutk memberitakan Injil ke segala makhluk (Markus 16:15-18;). Sebagaimana disebutkan tadi, HKBP sebagai lembaga menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Seharusnya lembaga berkarya untuk umat, masyarakat, bangsa dan seantero dunia (Matius 28:19-20). Oleh karena itu, HKBP masa depan harus kembali menemukan integritas pelayanannya sebagai saksi Kristus yang berdaya dan bermutu, menerjemahkan kabar baik dalam realitas dan tantangan abad 21. Di tengah-tengah realitas Indonesia dalam pusaran arus Globalisasi, HKBP perlu membangun integritas pelayanannya paling tidak dalam 4 (empat) aspek yaitu : KoinoniaMarturiaDiakoniaDidache (pendidikan dan pengajaran ) Pertama, membangun komunitas umat sebagai sumber kekuatan, dimana program-program Koinonia harus menghasilkan sumber energi spritual baru dimana persaudaraan menjadi kenyataan yang dapat dirasakan dan berdampak pada kedewasaan. Ketangguhan dan penguatan setiap warga jemaat untuk merajut kebersamaan dalam kemajemukan umat manusia menghadapi tantangan globalisasi. Warga HKBP telah tersebar ke seluruh dunia, hal ini membutuhkan strategy pelayanan khusus dan bersifat global. Kedua, membangun spiritualitas sebagai saksi Kristus, sehingga program-program Marturia bukan hanya membentuk jemaat yang beriman dengan kemampuan bernyanyi dan rajin beribadah. Tetapi, jauh lebih penting adalah membangun semangat dan tanggung jawab penginjilan dalam diri setiap warga jemaat dalam menjalani hidupnya di bidang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan politik, serta di segala bidang kehidupan, bahwa disana mereka adalah saksi Kristus. Ketiga, mendahulukan kaum miskin dan lemah, yang dalam konteks globalisasi akan semakin meningkat jumlahnya, oleh karena itu semua program-program Diakonia tidak cukup lagi hanya menyinggung sepintas keadaan kaum jompo, yatim piatu atau orang cacat, tetapi mampu menerjemahkan cinta kasih Kristus kepada semua orang yang tersingkir, menderita, lemah dan miskin dalam pengertian yang multi dimensi. Sudah waktunya HKBPmelakukan pendampingan bagi pemberdayaan petani, nelayan dan pedagang tradisional agar tidak terus menerus korban kebijakan ekonomi yang pro-konglomerat (Frans Magnis-Suseno, 2004:103-104). Elim, Hepatha dan Rumah Sakit HKBP hendaknya tidak hanya di Pematangsiantar, Laguboti dan Balige, tetapi dalam 4 tahun ke depan sudah ada di kota kota lain di Indonesia. Bahkan sesungguhnya, HKBP pun dalam kurun waktu 4 (empat) tahun ke depan sudah harus menggeluti Pengembangan Ekonomi Produktif termasuk membuka unit usaha yang menghasilkan bagi HKBP yang sebahagian daripadanya adalah pembukaan BPR. Ke depan, Unit Usaha ini diharapkan akan mampu menopang pelayanan HKBP termasuk membantu kesejahteraan pelayan dan jaminan harituanya. Keempat, sangat mendesak untuk memberi perhatian kepada pendidikan dan pengajaran untuk mencerdaskan umat dan mewariskan nilai-nilai kristiani. Pelatihan dan pembinaan harus terus menerus berlanjut dan ditingkatkan bagi warga dan pelayan. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa HKBP ke depan harus mampu mengimplementasikan integritas (kesetiaan) pelayanannya dengan memberi perhatian dan komitmen yang kuat terhadap masalah-masalah yang benar-benar mencemaskan masyarakat dunia saat ini. Keberpihakan dan keperdulian terhadap kaum marjinal harus diaplikasikan dalam berbagai bentuk pelayanan pemberdayaan para petani dan nelayan; pendampingan buruh dan anak terlantar/anak jalanan; advokasi terhadap korban kekerasan dan ODHA. Apa yang sudah dilakukan oleh gereja-gereja Reform, ada baiknya juga diakui oleh HKBP, yaitu merumuskan sebuah janji iman yang disebut dengan:covenanting for justice, yang salah satu statemennya mengatakan bahwa :kita percaya bahwa kita diminta oleh Allah untuk melakukan keadilan, cinta kasih, dan jalan yang benar di hadapan-Nya (Mikha 6:8). Kita dipanggil oleh Allah untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dalam ekonomi dan pengrusakan lingkungan, sehingga keadilan dapat mengalir seperti air dan kebenaran seperti sungai (Amos 5:24). Oleh karena itu, kita harus menolak semua teologi yang mengatakan bahwa Allah hanya berpihak kepada yang kaya, dan kemiskinan adalah akibat kesalahan dan kemalasan orang miskin. Kita menolak segala bentuk ketidakadilan yang menghancurkan hubungan yang baik antar jender, ras, strata sosial dan kecacatan. Kita menolak semua teologi yang menekankan bahwa kepentingan manusia di atas kepentingan alam (Seong-Won Park, 2005:189). Integritas pelayanan HKBP juga mesti diaplikasikan dalam konteks pluralisme dalam pengertian yang luas baik secara internal (dalam HKBP dan gereja-gereja) maupun secara eksternal (terhadap umat beragama lain, khususnya Islam). Pelayanan jemaat tidak dapat lagi dibatasi untuk sekedar mengawal tradisi atau memurnikan tradisi (membangun orthodoksi), dimana pelayanan kategorial tidak sesederhana yng kita pahami lagi dalam konteks jemaat agraris tempo dulu. Sebab, warga jemaat sendiri dalam kategori umur (Sekolah Minggu, Remaja dan Naposo Bulung, Ibu dan Bapak) sudah sangat pluralistik baik di tingkat pergumulan dan pemahaman imannya. Lebih-lebih lagi dalam menghadapi umat dari denominasi gereja yang lain, maupun menghadapi saudara-saudara kita yang Islam. Semua itu membutuhkan kesiapan berdialog dan kematangan sikap, sehingga HKBP tidak terjebak dalam sikap defensif, tetapi sesuai dengan visi dan misinya harus mampu mendengar dan memahami komentar dan ketakutan dari saudara-saudara kita yang beragama lain. Visi dan misi HKBP sebagai gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka dalam konteks pluralisme, hanya akan tinggal slogan apabila tidak secara gradual mempersiapkan pemuda gereja yang dewasa dalam iman, peka terhadap perkembangan zaman dan fleksibel dalam pergaulan nasional dan internasional. Sejarah mencatat bahwa revolusi dan reformasi besar biasanya terjadi melalui mobilisasi orang-orang muda yang mengalami pencerahan intelektual , politik dan spritual, kemudian menyadari berbagai kelemahan ajaran dan kebijakan tradisonal, yang menghambat kemajuan serta membelenggu kebebasan individu (Huntington, 2002:116.119).

PENUTUP
Pemberdayaan dan Transformasi adalah thema pokok yang perlu diterjemahkan dalam persekutuan, kesaksian, pelayanan, dan pengembangan pendidikan HKBP. Pemberdayaan yang dimaksudkan adalah dengan memberi kepercayaan kepada warga, menhembangkan prakarsa, meningkatkan keahlian (kompetensi), menggerakkan potensi, dan mengorganisasikan sumberdaya yang ada. Pada pihak lain transformasi berarti mengupayakan pembaharuan menyeluruh, dan melakukan perubahan mendasar guna mencapai mutu yang maksimal termasuk dalam berbagai Peraturan dan kebijakan, serta meninjau dan mengkaji ulang kurikulum Pendidikan Agama Kristen dalam Program Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda, kaum Bapak dan Ibu. Tugas mendesak saat ini adalah bekerjakeras untuk mengukuhkan HKBP menjadi gereja sebagai kekuatan pemberdayaan dan transformasi . Bahagian dari tugas itu mungkin termasuk mencari struktur, format dan pengorganisasian yang cocok untuk HKBP, agar berorientasi ke masa depan, mengikuti perkembangan strategis, dan mampu menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. Sebelum mengakhiri paparan ini, ijinkan saya mengucapkan untaian terimakasih kepada Universitas HKBP Nommensen dan PI Del yang memprakarsai Seminar yang sangat penting ini. Tuhan memberkati.

0 komentar: